RELEVANSI HUMANISME DALAM DUNIA KEILMUAN SAAT INI (4)


Konstelasi permasalahan-permasalahan yang dijumpai di Indonesia, seperti: 1). kekaburan identitas individu, komunitas maupun bangsa; 2). ambruknya sistem-sistem gambaran dunia yang tunggal, tapi juga kerasnya kehidupan dan masalah-masalah ketidakadilan, menyebabkan manusia merasa tidak lagi mampu mengontrol hidup dan dunia ini, apalagi dengan berbagai terror bom dimana-mana dan bencana alam yang kian tak terprediksi, perasaan tidak aman, kepanikan, kekosongan; 3). menjadikan agama tiba-tiba menjadi primadona peradaban, namun yang terjadi justru sebuah disilusi, berhadapan dengan berbagai persoalan mutakhir yang kompleks, suara agama-agama ternyata juga tidak menyakinkan, malahan sering terasa naïf, egosentris, terlampau terikat pada kepentingan status quo. Relevansi ilmu-ilmu kemanusiaan (Human Sciences) dalam konstelasi permasalahan diatas, khususnya ilmu-ilmu yang dahulu disebut sebagai Humaniora, yakni ilmu-ilmu seperti Studi Agama, Filsafat, Seni, Sejarah, dan ilmu-ilmu bahasa, yang diyakini sebagai ilmu-ilmu yang mampu mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi. Kita melihat sebelumnya bahwa terdapat berbagai tendensi baru dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Demikian kiblat ilmu-ilmu tersebut kini memang berubah. Masalahnya adalah bahwa perubahan paradigmatic dalam kiprah ilmu-ilmu itu sendiri jugalah yang sebenarnya telah mendekonstruksi dan menjungkirbalikkan segala pemahaman kita tentang realitas hari ini, dan melahirkan banyak kebingungan. Maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu, terutama dalam kerangka Postmodernnya, adalah bagian dari persoalan yang mesti dihadapi. Namun, meskipun tendensi postmodern dalam filsafat, seni, bahasa dan ilmu-ilmu keagamaan kadang memang berlebihan dan ekstrim, satu hal kiranya jelas : sejak kemunculan kritik-kritik mendasar itu cara kita memandang realitas tidak bisa sama lagi seperti dahulu. Postmodernisme dalam beberapa sisinya bisa terasa dangkal dan brutal, relativis anarkis, nihilistic depressif. Meskipun demikian, sebetulnya ia lahir justru akibat radikalitas dan intensitas reflektivitasnya juga. Dari sudut ini segala pembongkaran, disilusi dan disorientasi yang dimunculkan justru merupakan suatu tahap kesadaran baru yang penting : tahap ketika kesadaran manusia menyadari relativitas produk dan cara kerja sang kesadaran itu sendiri. Ini adalah tahap ketika manusia menyadari bahwa segala klaim tentang realitas adalah buatannya sendiri, bukan cerminan objektif realitas diluar sana; bahwa berbagai kerangka pandang yang dahulu digunakannya kurang strategis untuk memahami kompleksitas kenyataan hari ini. Dari sisi ini postmodernisme adalah semacam evolusi kesadaran yang membawa lompatan kualitatif agak radikal. Mengabaikan kenyataan ini karena panic dan hanya demi rasa aman yang dangkal adalah sikap kekanak-kanakan.

Dari semua refleksi diatas, maka berikut beberapa fokus penting yang perlu digarap dalam dunia pendidikan bagi masa depan, antara lain :
1. Diri sebagai agen perubahan, individu mesti dilihat sebagai agen penentu perubahan ke arah kemungkinan lebih tinggi, dan buka sekedar sebagai penerima, penderita, produk atau pun akibat. Segala bentuk kurikulum mesti menggerakkan individu kea rah upaya proaktif, kreatif, dan inventif.
2. Kebutuhan pihak lain sebagai titik tolak reflektivitas dan tanggung-jawab.
3. Fleksibilitas dan kemampuan melihat alternative baru.
4. Kemampuan menjadikan akar budaya sebagai antenna reseptivitas.
5. Budaya baca-tulis sebagai kunci sikap kritis.

Demikian telah dilihat bahwa kendati sebagai system-sistem ideologis Humanisme memang selalu bisa dikritik dan memang telah juga menimbulkan banyak korban. Humanisme sebagai proses tak berkesudahan untuk setiap kali merumuskan kembali apa yang berharga dan layak dirindukan dalam dunia kita, tetaplah sesuatu yang sentral, terutama dalam proses pendidikan bagi masa depan, yang kian tak terduga akibat percepatan perubahan. Pada titik itu pembentukan individu yang matang dalam kerangka pandang yang bersifat ekologis (terutama ekologi sosial dan spiritual) dan holistic, adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Pendidikan lantas bukanlah hanya soal transfer ketrampilan teknis, melainkan soal pembentukan kreativitas dan estetika-eksistensi.

Referensi :

1. Sugiharto, Bambang, dkk, Humanisme Dan Humaniora, Matahari, Bandung.
2. Sugiharto, Bambang, Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Bandung.


Leave a Reply