RELEVANSI HUMANISME DALAM DUNIA KEILMUAN SAAT INI (3)


Eksistensi Manusiawi bisa menjelaskan pengetahuan (Tatanan Epistemology Kultural) tentang kodrat manusia (Tatanan Ontologis). Pemikiran ontologis tentang manusia khususnya dalam kaitan dengan eksistensi esensialnya menggambarkan situasi dan kondisi manusiawi dimana manusia hidup sebagai pribadi, keadaan ideal dimana manusia diperlakukan dan memperlakukan dirinya sebagaimana adanya manusia, keadaan ini disebut Humanitas. Dalam situasi dan kondisi semacam itu, manusia hidup secara otentik. Secara dialektis dapat dikatakan bahwa dalam hidup otentik, manusia sampai pada kemanusiaannya. Oleh karenanya, humanitas menjadi prasyarat dari otensitas dan sebaliknya otentitas menjadi gerbang bagi humnitas. Itulah saat dimana manusia mengalami dirinya sebagai manusia. Itulah keadaan sejati dimana ia hidup sungguh sebagai manusia. Humanitas adalah kemanusiaanya manusia. Manusia bereksistensi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Hanya dengan begitulah manusia menjadi manusia secara ontologis. Kodrat sering dipertentangkan dengan kultur. Sesuatu dianggap kodrati kalau ia itu bereksistensi berdasarka jatidirinya. Sesuatu dipandang kodrati juga bila ia itu tampil seperti apa adanya dalam kepolosan eksistensial tanpa tedeng aling-aling kultural. Makah al kodrati itu tidak diciptakan oleh manusia, tetapi tersedia begitu saja, diciptakan oleh Tuhan. Nilai kodrati bersifat absolut. Lain halnya dengan kultur, sesuatu disebut kultural ketika ia itu bereksistensi berdasarkan konvensi sosial yang berlaku, baik dalam lingkup masyarakat lokal, maupun regional, ataupun global universal. Kultur itu diciptakan, dikembangkan, dan dipromulgasikan baik secara verbal eksplisit ataupun secara non verbal implisit. Oleh karenanya, kultur itu bisa benar dan mungkin juga salah tergantung dari mana kita memandangnya. Kultur bersifat relatif. Walaupun manusia secara ontologis tidak bisa dirumuskan begitu saja, tetapi penjelasan kultural tentang kondisi manusia bisa membantu memahami manusia secara ontologis.

Revolusi ilmu pengetahuan (mulai abad ke 15) yang menjadi fondasi ilmu pengetahuan modern sangat menekankan ilmu pengetahuan alam, terutama pada abad ke 17. Terlebih dengan berkembangnya revoludi industry dan revolusi ilmu pengetahuan kedua pada paruh kedua abad ke 19. Kemanusiaan semakin terkontaminasi, mereduksi realitas manusia menjadi realitas objektif yang persis sama dengan objek alam semesta lainnya. Kemanusiaan semakin terkontaminasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi canggih yang merupakan hasil ilmu eksakta. Adanya kemunduran luar biasa dari masyarakat dan kebudayaan saat ini yang senyatanya telah dimulai pada abad ke 17 yang orientasi pengetahuannya adalah ilmu alam. Humanisme yang mau mengembalikan orientasi kemanusiaan bergelut dari zaman ke zaman memantapkan identitas kemanusiaan, namun saying tergelincir jatuh pada antropomorfisme, deisme, agnotisme, bahkan ateisme. Teknologi yang jelas-jelas bernuansa eksakta dirumuskan kembali oleh E. F. Schumacher agar menjadi teknologi manusiawi yang berorientasi manusia, dimana bukan hanya akal budi, tetapi juga tangan, dan hati dikembangkan dalam penggunaan teknologi sehingga manusia tetap mengontrol sebagai tuan atas (bukan budak dari) teknologi. Heidegger dalam Sein und Zeit menyerukan panggilan ontologis menuju otentisitas eksistensi. Sartre dalam L’etre e le Neant meneriakkan panggilan eksistensial menjadi manusia otentik. Levinas dalam Totalite et Infini: Essai sur l’Exteriorite mengajak undangan etis untuk menjadi otentik. Taylor mempropagandakan ototisitas etis dan ontologis melalui etika otentisitas. Semua ini adalah reaksi terhadap tercabik-cabiknya konsep humanitas. Manusia perlu menegaskan kodrat ontologisnya atau merumuskan kembali nilai-nilai manusiawinya agar ilmu dan teknologi tidak menentukan tujuan tetapi dijadikan sarana untuk mencapai tujuan memanusiakan manusia. Manusialah yang harus menentukan tujuan hidupnya sesuai dengan panggilan ontologisnya menjadi manusia.

Bebagai bentuk Humanisme adalah bermacam upaya dalam berbagai konteks untuk senantiasa melihat manusia sebagai pusat gravitasi yang tidak pernah bisa diabaikan, bahkan sebagai sumber utama ukuran nilai dan tujuan-tujuan mulia, yang juga sulit disangkal. Sistem-sistem hukum modern yang penting, idealism politik demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, norma-norma perilaku sosial dan administrative, yang merupakan pilar-pilar keberadaban mutakhir, adalah prestasi-prestasi yang sebagian besar telah dilahirkan oleh berbagai bentuk Humanisme. Dalam dunia teknologis saat ini, konsep identitas kemanusiaan banyak ditentukan oleh interaksi ketat antara teknologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan, dimana manusia adalah teknisi sekaliguslaboratoriumnya, peng-eksperimen serentak bahan eksperimentasinya. Ilmu-ilmu kemanusiaan saat ini adalah konfigurasi baru dari reflektivitas Studia Humanitatis jaman dahulu, yang kini karakter, sudut pandang dan tendensinya lain. James Ogilvy, dalam kerangka studi futurologisnya, melacak berbagai tendensi mutakhir ilmu-ilmu kemanusiaan ( Human Sciences), adalah sebagai berikut :
1. Filsafat masa kini yang sangat diwarnai dengan pemikiran Heidegger dan Wittgenstein berbelok ke arah medan bahasa/tanda (Semiotik).
2. Hubungan-hubungan sistematik antara berbagai fenomena yang berbeda lebih diperhatikan ketimbang mengamati persamaan antara berbagai realitas dan melihat identitas sebagai substansi.
3. Meningkat perhatian terhadap narrativitas sebagai bentuk baru deskripsi.
4. Kerangka berpikir terikat pada waktu, dimana terikat pada arah dinamika peristiwa-peritiwa kongkrit dalam sejarah, yang terus menerus tanpa henti saling merelatifkan satu sama lain.
5. Demokratisasi Makna. Pola legititimasi telah bergeser dari acuan pada norma-norma transenden ke arah proses-proses dialogis imanen antar interlocutor.


Leave a Reply