RELEVANSI HUMANISME DALAM DUNIA KEILMUAN SAAT INI (2)


Menurut Sugiharto, Bambang (2008) secara klasik, dapatlah dikatakan bahwa Humanisme adalah gerakan sosio-kultural yang secara sistematik berusaha mengartikulasikan makna humanitas atau kodrat manusiawi, apa kira-kira tujuan pemenuhan hidupnya, dan apa tolak ukur kemanjuan peradaban moralnya. Dari situlah muncul benih-benih kepercayaan dan keperdulian semata pada manusia. Humanisme merupakan salah satu jalan di mana orang mencoba berpikir untuk hidup tanpa agama, tanpa Tuhan, tanpa hidup religious. Bahkan ada pula orang-orang yang jelas bermaksud mengganti agama dengan humanism. Lebih tepatnya, mereka bermaksud menjadikan humanism sebagai agama alternative. Menurut Subianto B., Antonius (2008), secara etimologis, humanism berarti isme atau aliran tentang manusia. Humanisme dapat juga diterjemahkan sebagai ‘manusiaisme’. Dalam arti luas humanism adalah suatu konsep tentang manusia sebagai pusat eksistensi. Segala sesuatu yang ada menjadi tidak berarti kalo bukan untuk dan demi manusia. Manusia diagungkan sedemikian rupa sebagai mahkota alam semesta sehingga semua yang ada tidak akan bermakna kalau tidak ditempatkan dalam konteks kepentingan manusia. Antroposentrisme bisa dipandang sebagai salah satu ekspresi ekstrem dari humanism yang mereduksi segala sesuatu semata pada pokok persoalan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Manusia menjadi semacam dewa yang harus diagungkan, kalau bukan untuk disembah. Kebahagian manusia menjadi tujuan akhir dari semua pemikiran dan perbuatan di dunia. Dengan demikian, humanisme tumbuh menjadi suatu konsep kultis tentang manusia. Humanisme sebagai filsafat yang mengkultuskan manusia merupakan suatu pemikiran rasional yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, diinspirasikan oleh seni, dan didorong kuat oleh passion.

Humanisme pada revolusi Industri berhadapan dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan di berbagai bidang berkembang terutama di bidang fisika, biologi, juga ilmu sosial seperti politik, ekonomi, dan sosilogi. Ilmu-ilmu baru ini masuk dalam kurikulum pendidikan yang mengesampingkan kedigdayaan ilmu-ilmu klasik. Keadaan semakin memburuk dengan munculnya filsafat pesimis Nietzsche tetang nihilism, Schiller dan Goethe yang lebih mementingkan dan mengembangkan potensi-potensi khas manusia (imajinasi, rasa, dan sebagainya) melalui pendidikan literature klasik. Bersamaan dengan gelombang kritik terhadap modernism pada abad ke 19, Humanisme pun menjadi sasaran kritik bertubi-tubi. Secara teoritis misalnya Humanisme telah dikritik terlampau antroposentris hingga kehilangan dimensi transcendental; cenderung fondasionalistis dan merupakan agen utama ideology universalisme yang tak lain darpada imperialism terselubung; individualistis dan anti – komunitarianisme; bentuk lain dari idealisme, logosentrisme, falosentrisme, ideology borjuis; kepanjangan tangan dari metafisika-substansi atau epistemology subjektivis, dan sebagainya. (Sugiharto, Bambang, 2008). Dari sisi praktis realitas sosial biasanya diajukan kenyataan-kenyataan yang memperlihatkan bahwa Humanisme sudah kedarluasa. Misalnya saja, kenyataan bahwa konon kini subjek individu dan kodrat sakral manusia sudah tidak ada lagi.

Selama abad ke 20, kekuatan Humanisme semakin terpuruk terlebih dengan adanya perang dunia I dan II serta peristiwa kekejaman Nazi. Martabat manusia dinjak-injak, keagungan dirobek-robek, manusia menjasi tak berarti lagi. Seandainya Hmanisme tetap merupakan pandangan demi kebaikan yang lebih besar bagi kemanusiaan pada umumnya di dunia ini, mungkin akibat buruk diatas tidak akan pernah terjadi. Itulah gambaran bagaimana dunia Barat menjadi ibu yang melahirkan humanism, sekaligus menjadi bapak yang membunuhnya. Sejak saat itu, bermunculanlah filsafat anti humanism di Barat seperti dalam diri kaum eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Albert Camus. Ambruknya Humanisme sebagai konsep kultis positif tentang manusia justru terjadi karena humanism mau mengabsolutkan manusia serta meniadakan Tuhan dan menyingkirkan agama yang senyataya adalah pro humanitas, memihak manusia. Justru kalau humanism tidak menolak agama dan tidak hendak menjadi agama alternative, ia akan berhasil mencapai tujuannya yang adalah kebahagiaan dimana manusia bereksistensi sesuai esensinya. Disini dalam arti tertentu manusia tetap menjadi kultus yang tidak harus diartikan sebagai konsep absolut tentang manusia. Humanisme sejati adalah gerakan yang justru menjunjung tinggi humanitas, yang sebenarnya juga adalah tujuan utama agama. Penjelasan historis tentang cikal bakal konsep humanisme akan membuat manusia semakin arif untuk berpikir bagaimana kita harus menempatkan humanism secara proporsional dalam konteks kehidupan keagamaan tanpa harus menyepak agama keluar dari kancah kehidupan manusia.


Leave a Reply