PERUMAHAN YANG TERJANGKAU DENGAN DINAMIKA PERKEMBANGAN MATERIAL BANGUNAN


Rumah merupakan kebutuhan dasar dari umat manusia selain sandang dan pangan. Di negara berkembang seperti Indonesia, kebutuhan perumahan terjangkau menjadi tantangan berat yang perlu dipecahkan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk dan rendahnya kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat. Di sisi lain cepatnya proses urbanisasi, urban sprawling, keterbatasan lahan dan tidak terintegrasinya perencanaan ruang, menyebabkan sulitnya masyarakat tersebut untuk memenuhi kebutuhan hunian yang terjangkau dan berkelanjutan.Kondisi lingkungan hunian di perkotaaan saat ini yang terdiri dari beberapa permasalahan yang dihadapi seperti keterbatasan penyediaan rumah. Jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 5,8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang menempati rumah yang tidak layak huni dan tidak didukung oleh prasarana, sarana lingkungan dan utilitas umum yang memadai. Berdasarkan data hasil kajian pekerjaan dalam lingkup Kementerian Perumahan Rakyat bahwa pada tahun 2009, terdapat 4,8 juta unit rumah diperkirakan dalam kondisi rusak.
Menurut Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2008, sebanyak:
 13,8% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah,
 12,4 % dengan dinding belum permanen, dan
 1,2 % tinggal di rumah yang beratapkan daun.

Perkembangan perkotaan ini mengakibatkan banyak hal di antaranya meningkatnya kemacetan karena tersebarnya perumahan ke daerah suburban, maraknya banjir perkotaan serta kekurangan air bersih di perkotaan. Selanjutnya dengan banyaknya lokasi perkotaan yang berada di kawasan tepi air, ekstraksi air tanah ekstrim telah menyebabkan penurunan permukaan tanah yang juga signifikan mengurangi kondisi keberlanjutan perumahan. Yang terakhir maraknya permukiman kumuh di lahan-lahan kosong, Ruang Terbuka Hijau, bantaran sungai dan bantaran rel kereta api juga mengindikasikan ketidak-berlanjutannya pembangunan perumahan di Indonesia. Pesatnya pertambahan populasi penduduk di perkotaan serta kompleksnya masalah perkotaan yang ada saat ini memicu terjadinya kecendrungan penurunan produktivitas dan daya dukung lingkungan perkotaan. Kerusakan lingkungan salah satunya ditandai tingginya kadar CO2 di udara, yang kebanyakan dihasilkan oleh industri dan konstruksi. CO2 adalah gas penyebab efek rumah kaca yang berlanjut pada pemanasan global.

Sektor bangunan secara perlahan namun konstan memiliki kontribusi terbesar dalam menyumbang emisi karbon di alam sehingga memperparah pemanasan global yang sedang berdampak makin memburuk akhir-akhir ini. Lebih dari 60% emisi gas buang yang terdiri dari senyawa CO2, SO2 dan gas metana dihasilkan dari sektor industri pembangunan termasuk didalamnya sektor pembangunan perumahan yang secara tidak langsung berarti membangun konsentrasi baru aktivitas manusia dalam suatu kawasan, membentuk pola baru pada lingkungan binaan yang terbangun, menumbuhkan banyak bangunan baru, meningkatkan mobilitas suatu kawasan, membuka aksesibilitas suatu kawasan, serta yang paling terlihat adalah kegiatan yang merubah bahkan menghabiskan lahan terbuka hijau di perkotaan menjadi sebuah hutan perkerasan. Semakin mahalnya biaya energi pembuatan material bangunan, adanya peraturan yang dibuat pemerintah dan pertimbangan memburuknya kondisi lingkungan, merupakan tiga alasan utama yang menjadi pandangan para professional di bidang konstruksi di Indonesia dalam menerapkan konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang mengaplikasikan material dari sumber daya alam terbarukan dengan penggunaan energi pembuatannya yang lebih minim. Dari zaman dulu hingga sekarang penggunaan energi untuk material konstruksi pada hunian, rumah pada khususnya mengalami perkembangan yang pesat, dari penggunnan material-material dari sumber alam yang tidak terbarukan sampai dengan saat ini pemakaian material-material dari sumber daya alam terbarukan dan pemakaian material sintetis.

Pengembangan dan perubahan material dari sebelum zaman Industrialisasi , ke zaman Revolusi Industrial pada tahun 1800, yang banyak menghasilkan material-materiqal baru, sekaligus eksploitasi alam secara besar-besaran, dalam mengambil bahan baku material dari sumber alam yang tidak terbarukan, serta penggunaan energi yang sebesar-besarnya dalam pembentukan material menjadi bahan pakai pada konstruksi perumahan. Industri-industri juga pada saat itu menghasilkan produk material dalam jumlah yang banyak, sehingga pembangunan marak terjadi pada setiap wilayah, terutama wilayah kota. Pada saat Post Industrialisasi, masyarakat didunia menyadari kerusakan alam, dan konstruksi bangunan dan perumahan merupakan kontribusi terbesar dalam perusakan alam. Hal ini diimbangi dengan pemakaian material dari sumber daya alam terbarukan dan penemuan material-material dari bahan-bahan sintetis, menjaga supaya alam bisa dapat dilestarikan kembali. Bahan-bahan dari sumber daya terbarukan seperti bamboo, rotan, kapas, dlsb, diharapkan dapat dipakai dalam semua komponen konstruksi dalam pembangunan perumahan. Pada era post industrial ini peembuatan material tidak lagi dilakukan secara besar-besaran, tetapi terdiri dari banyak unit kegiatan, yang berbasis kepada masyarakat yang menghasilkan industry-industri kecil. Namun jika dilihat dari kebutuhan bahan/material konstruksi yang sangat banyak dan mendesak, industry-industri kecil ini harus digiatkan dalam produksinya dan adanya kerjasama dengan pihak yang menghasilkan bahan baku material tersebut, sehingga kebutuhan akan pengadaan perumahan-perumahan dari material alam, dari sumber terbarukan dan pengaplikasian energi yang murah, akan dapat mudah direalisasikan.


Leave a Reply