Paradigma Multikulturalisme Dalam Permukiman Kota


Isu tentang Multikulturalisme menjadi signifikan dalam masyarakat urban di perkotaan. Masyarakat urban menunjukkan keanekaragaman suku dan budaya, yang dapat dilihat dari suku, ras, agama, daerah, bahasa, kelompok jender, dsb-nya, dimana masyarakat modern dan terbuka meniscayakan adanya interaksi (pertemuan, kerjasama, konflik) di antara manusia yang berbeda latar budaya. Dalam konteks globalisasi, secara alamiah setiap ikatan budaya cenderung ingin hidup dengan caranya sendiri; dan memang tiap ikatan budaya punya hak hidup serta berkembang. Kesadaran dan kebanggaan pada identitas budaya sendiri tidak menjurus ke sikap dan tindakan yang eksklusif, egois, serta arogan yang dapat mengancam kebersamaan kehidupan dalam keanekaragaman budaya. Hidup secara berdampingan dalam kederajatan yang sama mencerminkan keberagaman dan kesatuan, menghasilkan dan menguatkan identitas integrasi budaya di suatu negara/perkotaan. Integrasi disini bukan suatu hasil pencampuran antar budaya-budaya tersebut, namun suatu penguatan dengan mengakui perbedaan masing-masing, menunjuk pada keberadaan bersama (ko-eksistensi) sejumlah pengalaman kultural yang berbeda di dalam sebuah kelompok atau masyarakat urban.

Pemahaman ini dimasukkan ke dalam kerangka urban/perkotaan, sehingga keberadaannya sebagai upaya memperoleh kesempatan yang sama di ruang publik mampu direfleksikan pada kehidupan di perkotaan. Manusia sadar akan eksistensinya dan mampu berefleksi tentang eksistensinya. Tinjauan mengenai Multikulturalisme ini adalah ideologi yang dipahami mempunyai peran dalam membentuk identitas dan karakter kultural pada masyarakat urban, dan memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Multikulturalitas, sebaliknya, mempunyai peranan seluas-luasnya dari masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakat Multikultural terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial, dan telah mengalami proses internalisasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya, produk hubungan tersebut mengakibatkan terciptanya pola keteraturan pada pengguna lahan. Didalam sejarah kota & pemukiman sudah dibuktikan bahwa setiap kebudayaan mampu menyusun pola dan membentuk kota dengan cara yang tepat sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang diterapkan secara kontekstual, walaupun rupa bentuk masing-masing sering sangat berbeda satu sama lainnya. Pembahasan ini akan secara eksplisit menetapkan hal-hal yang relevan dalam tataran filosofis guna menelaah lebih lanjut dan memahami posisi kajian dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.

A. Multilkulturalisme, Kebijakan Pemerintah dan pengaruhnya terhadap Perkembangan Pola Permukiman

Istilah Multikulturalisme sering digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang keanekaragaman hidup manusia di dunia ini, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan perhatian kepada penerimaan terhadap realitas keanekaragaman budaya (multikultural) yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Sejak dasawarsa 1970-an, berhadapan dengan arus imigrasi di kawasan Eropa Barat, banyak negara barat, seperti Belanda, Swedia dan Inggris cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan multikultural yang bertujuan menolong kelompok-kelompok khusus untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan asli mereka dan menguatkan identitas kultural mereka. Pada awalnya istilah ini hanya dikenal dengan istilah Pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara, kemudian pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang dengan istilah Multikulturalisme.
Multikulturalisme di Indonesia dimulai sejak aglomerasi masyarakat dan permukiman di perkotaan. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia dilihat mempunyai sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (main-stream) didalam kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan dari sebuah masyarakat atau bangsa merupakan sebuah mozaik, dan didalam mozaik tersebut terdapat keanekaragaman kebudayaan dari dan yang ada dalam masyarakat atau bangsa tersebut.

Model Multikulturisme ini bertentangan dengan model monokulturisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan, yang tergolong kebuayaan-kebudayaan sebagai terdiri atas sebuah kebudayaan yang dominan atau mayoritas dan lainnya sebagai kebudayaan-kebudayaan minoritas yang harus meleburkan diri kedalam kebudayaan yang dominan tersebut. Model ini dikenal dengan kebijakan asimilasi atau pembauran. Dalam kebijakan ini mereka yang termasuk golongan minoritas harus mengganti jati diri menjadi golongan yang dominan dengan cara mengadopsi kebudayaan dominan tersebut menjadi kebudayaan mereka untuk dijadikan sebagai atribut bagi jati diri mereka yang baru, seperti etnis-etnis pendatang di Indonesia. Dalam model multikulturisme penekanannya adalah pada terwujudnya kesederajatan individu serta ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda. Juga pada saling pengayaan budaya melaui proses-proses pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupan tampa ada hambatan-hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut karena adanya batas-batas suku bangsa.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini, baik dalam bidang sosial, budaya , ekonomi dan politik, mempengaruhi tata atur di dalam pola struktur kota dan permukiman. Pola yang terbentuk dari penjabaran sejarah diatas dapat disimpulkan menjalani proses yang direncanakan maupun tidak direncanakan, dari masa kerajaan, pemerintahan kolonial, dan berlanjut sampai dengan kebijakan pemerintah saat ini. Kota-kota besar di Indonesia tumbuh dari pola aglomerasi permukiman yang ‘dirapikan’ dan dibentuk oleh Pemerintah kolonial Belanda. Hal ini yang masih dapat dilihat sampai sekarang. Pembangunan daerah pemukiman pada saat itu berdasarkan pada kelompok etnis, dimana daerah pemukiman pribumi bermukim di pinggiran kota, daerah permukiman bangsa Eropa di tengah kota, daerah pemukiman Tionghoa bermukim bersebelahan dengan bangsa Eropa, demikian juga dengan permukiman India dan Arab. Perkembangan yang pesat akibat bertambahnya pemukiman penduduk sehingga terjadi perluasan kota, dan status kota berubah menjadi Kotapraja (Gemeente), dimana perbedaan-perbedaan dalam tingkatan penghidupan dan keadaan sekitarnya antara kelas tingkat atas yang sebagian besar terdiri dari orang Eropa.

Beberapa kota-kota besar di Indonesia direncanakan dengan baik oleh Thomas Karsten (1917), dimana pembagian hunian berdasarkan etnis yang telah menjadi kebiasaan di Hindia Belanda, tidak diikuti oleh Karsten. Zonering dari tipe rumah dan rumah tinggal berdasarkan kelas sosial merupakan ciri dari perencanaan kota Karsten. Semua pemukiman yang direncanakan dari tiap lapisan tingkat sosial semaksimal mungkin untuk memiliki ruang bersama baik berupa taman, fasilitas sekolah, maupun gedung ibadah sebagai elemen penting kawasan yang dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat dalam satu kawasan pemukiman.

Aksesibilitas pemukiman menggunakan pola jalan sederhana dengan adanya pembagian berupa: 1. jalan raya; 2.pedestrian; 3.garis sepadan; 4. massa rumah. Jalan lingkungan dilengkapi pohon dengan pedestrian dibawahnya memiliki akses langsung ke taman lingkungan. Setiap ada perpotongan jalan diselesaikan dengan taman. Pola jalan dan pembagian kawasan menyesuaikan dengan kondisi topografi kawasan terpilih guna memperkecil adanya suatu perubahan alam. Perencanaan ini mengawali perubahan ketika Karsten mengajukan makalah ‘Indian Town Planning (Indiese Stedebouw) dalam kongres Desentralisasi 1921. Dalam makalahnya, Karsten menunjukkan perencanaan kota merupakan kegiatan yang melibatkan kegiatan saling terkait satu sama lain (sosial, teknologi, dan sebagainya) yang perlu ditangani semestinya. Metode pendekatan yang menciptakan rencana tata kota secara terorganisir dengan mempertimbangkan dimensi sosial dan estetika merupakan hal baru Pembagian tipe rumah yang direncanakan oleh Karsten menunjukkan integrasi spasial bukan hanya terjadi pada budaya, namun juga dari sosial ekonomi yang menyatukan stratifikasi-stratifikasi sosial yang berbeda dari masyarakat kota, walaupun pada perkembangannya mengalami disintegrasi spasial yang nyata.

Secara umum terdapat empat teritori spesifik dalam sebuah struktur urban, yaitu : distrik administrative, distrik relijius, distrik perdagangan serta komersial dan komponen hunian (Kostof, 1999). Pembagian area-area kota ini dmaksudkan tidak hanya untuk mengorganisasi fisik kotanya tetapi untuk menata penduduk agar dapat masuk ke dalam bentuk kota.Sejak awal berdirinya kota, pembagian seperti ini sudah ada dan hal tersebut berhubungan dengan aspek politik atau adminstrasi kekuasaan, yaitu bagaimana penduduk kemudian dapat ditarik untuk membayarpajak, diberi pelayanan, atau dipaksa untuk bergabung dengan kelompok-kelompok tertentubahkan lebih jauh lagi untuk dikendalikan. Pembagian area-area spesifik ini dapat bersifat memaksa atau sukarela. Pembagian ini pun kemudian dapat diartikan pemisahan manusia secara sosial.

Pola pembentukan struktur kota dan permukiman dari tahapan Aglomerasi, Separasi, lalu kemudian Stratifikasi, berlanjut pada pola Integrasi pada perkembangan struktur kota dan permukiman yang kita kenali saat ini. Pada saat ini permukiman-permukiman etnis yang masih membentuk cluster-cluster budaya pada pusat kota-kota besar di Indonesia masih dapat dilihat dan melakukan separasi harmonis, walaupun telah banyak terjadi proses akulturasi dan asimilasi budaya. Dalam perkembangan era Post Modernisme saat ini, masyarakat memandang penting konteks keragaman dan keunikan budaya karena derasnya arus globalisasi yang telah membawa pengaruh modernisasi yang sangat meluas sehingga menghilangkan karakter dan lokalitas yang khas pada masing-masing permukiman yang dikenal sebagai cikal bakal pembentuk pola struktur perkotaan di Indonesia Karakter dan lokalitas yang khas dan unik serta beragam menjadi symbol dari masyarakat multikultural di perkotaan.

Selanjutkan pola Integrasi spasial yang terjadi dapat dilihat dari kebijakan dari pola permukiman tradisional, clustering permukiman etnis di zaman kolonial dan pemisahan harmonis yang terjadi saat ini. Penghormatan pada etnis yang dominan pada zaman dahulu dengan mengikuti pola spatial tradisional, lalu selanjutnya pada zaman kolonial membolehkan memanfaatkan ruang publik-ruang publik seperti pasar, alun-alun, bangunan peribadatan dan ruang-ruang publik lainnya sebagai wadah interaksi sosial dan terjadi pencampuran yang tetap mempertahankan ciri-ciri khas masing-masing, sampai dengan integrasi yang terjadi pada saat sekarang yang memperlihatkan peleburan aktivitas sampai dengan peleburan spatial, dimana adanya kekuatan integratif yang ada pada masyarakat, melibatkan kebijakan pemerintah saat ini dengan mempertahankan lokalitas dari masing-masing area permukiman, dari permukiman asli maupun permukiman pendatang.

B. Multikulturalitas dan nilai-nilai Integrasi yang dikembangkan oleh Masyarakat Etnis.
Pembahasan tentang multikulturalisme merupakan cara pandang yang sudah menjadi tata atur yang sudah berlangsung lama. Lain halnya dengan Multikuturalitas, hal ini perlu dilihat sebagai suatu cara masyarakat kota, khususnya masyarakat etnis dalam menyikapi perkembangan multikulturalisme dan berusaha menerjemahkan di dalam budaya dan kebiasaannya masing-masing. Multikulturalitas dalam masyarakat etnik dipandang sebagai suatu cara dalam menciptakan hubungan yang baik dalam suku yang sama maupun suku yang berbeda. Masing-masing etnis mempunyai istilah tersendiri untuk menggambarkan istilah ini, seperti Dalihan Natolu pada suku Batak, dan lain sebagainya, yang semuanya menyiratkan nilai-nilai etnisitas yang integratif, selain tentu saja ada nilai-nilai etnisitas yang bersifat disintegratif.

Karakter-karakter dari setiap komunitas etnis melambangkan perbedaan kebiasaan dan tradisi, yang secara khusus terefleksikan dalam ruang huniannya, aspek-aspek norma, pandangan hidup atau kultur masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi dan wujud ruang yang berbeda pula (Rapoport, 1974). Selain itu juga bagaimana komunitas ini menjalin hubungan dengan komunitas etnis lainnya juga menyiratkan keselarasan dalam kehidupan bersama. Berghe (1987) , menjelaskan 4 (empat tahap) berikut dari hubungan antar etnis: (1) autarki, (2) perdagangan, (3) simbiosis dan (4) parasitisme, yang selanjutnya bisa dilihat dalam tabel dibawah. Masing-masing tahap hubungan ini memperlihatkan karakteristik yang terkait dengan hubungan antar komunitas etnis, dari tahap 1 sampai dengan 3, hubungan antar etnis memperlihatkan pola yang tidak mendominasi satu sama lain, tidak ada hirarki antar kedua, hubungan dilakukan berdasarkan konteks lingkungan, alam, aktivitas, danlain sebagai, menciptakan kehidupan bersama yang salin menguntungkan. Hal ini berbeda dengan tahap terakhir, dimana memilki hubungan yang cenderung membentuk hirarki dan mendominasi, serta mengeksploitasi etnis lainnya. Karakter-karakter ini akan jelas terbentuk dalam pola hunian dan permukiman, walaupun pada perkembangannya sekarang ini pola tersebut membaur dan menyisakan pola-pola kawasan lama yang menjadi karakter kawasan tersebut.

Istilah etnis dalam istilah polietnis merujuk kepada pengertian komunitas-komunitas masyarakat tertentu yang merupakan pendatang dimana mereka tidak memiliki basis teritori di negara atau di daerah yang mereka tinggali; tetapi mereka memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri yang berbeda dengan penduduk asli (Kymlicka, 2003). Keberagaman etnis di sebuah negara atau di sebuah tempat, inilah yang disebut polietnis. Dengan demikian, negara dimana penduduknya terdiri dari beraneka etnis dapat disebut sebagai negara polietnis. Munculnya keberagaman etnis dalam suatu negara polietnis ini salah satunya misalnya lantaran adanya gelombang migrasi baik secara individual maupun kelompok. Negara yang disebut sebagai negara multibangsa, di sisi lain juga bisa disebut atau merupakan negara polietnis dan demikian pula sebaliknya. Indonesia dikatakan sebagai negara multibangsa karena di negeri ini terdapat berbagai bangsa (Aceh, Minang, Batak, Jawa, Sulawesi, Papua, dan lain-lain), namun di sisi lain dapat juga dikatakan sebagai negara polietnis karena di Indonesia terdapat berbagai etnis di luar bangsa Indonesia yang memiliki budaya mereka sendiri walau tidak memiliki basis territorial seperti masyarakat asli Indonesia, yang kebanyakan berasal dari keturunan etnis Tioghoa, India dan Arab, maupun Eropa.
Sudah umum diketahui bahwa ruang, seperti rumah, kampong, permukiman dan kota merupakan wadah di mana aksi-aksi individual dan interaksi sosial ditunjukkan dan dilangsungkan sepanjang waktu.Ruang tersebut juga menjadi tempat dimana ekspresi simbolik dari nilai-nilai budaya penghuni diletakkan.Dalam kondisi keberagaman dan perbedaan yang terdapat dalam negara multibangsa atau polietnis, benturan atau gesekan antara bangsa dan etnis yang berbeda dapat terjadi, atau juga pengekangan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dapat saja muncul. Oleh sebab itu, Multikulturalitas sebagai suatu pemberdayaan dari masyarakat etnis itu sendiri dibutuhkan untuk pengakuan keberagaman, bukan itu saja, namun juga menghargai, menghormati bahkan merayakan keberagaman tersebut. Multikulturalitas diejawantahkan melalui upaya pemberian ruang bagi yang lain. Dengan memberikan ruang, memungkinkan bagi entitas yang berbeda untuk dapat tumbuh dan berkembang dan mengartikulasikan dirinya tanpa batasan ruang dan hambatan.


Leave a Reply