Multikulturalisme vs Multikulturalitas (1)


Akar kata multikulturalisme adalah Kultur. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/ paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam. Multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda/ragam dalam istilah-istilah, antara lain : differences – similarities, diversity – unity, identity – integration, particularity – universality, nationality – globality, etc.

Multikulturalisme adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian tradisional tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan keakuan budaya yang berbeda (the other). Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, 2002).

Selanjutnya Suparlan mengutip Reed (1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan (sub culture) dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan. Hal ini sejalan dengan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Hal ini lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997). Menurut Parekh, ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Secara umum, masyarakat modern/perkotaan terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial.

Crowder (2013) memahami multikulturalisme dengan bertolak dari pengalaman empiris tentang aneka ragam budaya yang terdapat dalam masyarakat. Lebih jauh daripada itu, sesuatu menjadi budaya masyarakat karena telah berurat-berakar dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perkehidupan masyarakat. Dapat saja terjadi suatu masyarakat tidak hanya memiliki satu budaya, style or way of life, apalagi jika masyarakat bersifat terbuka dengan konsekuensi mengakomodasi perjumpaan antar budaya. Perjumpaan ini dapat mendorong usaha penemuan budaya asli, dan bahkan pemurnian budaya artifisial dan tambahan. Lebih lanjut, persoalan kompleks muncul bukan dari kata ‘multi’, melainkan ‘kultur’. Para ahli seperti B. Anderson, C. Geertz, Koentjaraningrat, H. Feith, M.C. Ricklefs, memiliki batasan sendiri tentang Kebudayaan. Artinya, kata ‘kultur’ itu multi-interpretable. Mengikuti kosep umum tentang kebudayaan, bahwa kebudayaan merupakan rangkaian kepercayaan dan nilai yang dimiliki secara umum oleh suatu kelompok dan mencirikannya sebagai sebuah kelompok.
Leonie Sandercock, 2003, menguraikan, ketertambatan manusia pada kebudayaan memang tak terhindarkan. Setiap kita tumbuh di dunia yang terstruktur secara kultural, dibentuk melalui budaya itu, dan memandang dunia dari sudut budaya spesifik. Kita juga punya kemampuan mengevaluasi secara kritis keyakinan dan tindakan sendiri, serta mampu memahami dan mengapresiasi budaya lain dengan sama kritisnya. Tapi, adanya identitas kultural tertentu dan yang tampak kita miliki, tak terelakkan. Budaya tak boleh dipahami sebagai statis, kodrati, dan esensialis. Keanekaragaman budaya merupakan sesuatu yang positif, dan dialog antarbudaya merupakan unsur penting dari masyarakat dengan beragam budaya. Semua budaya memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan dan dipelajari dari budaya lain. Hak untuk berbeda di jantung multikulturalisme harus secara terus menerus dihadap-tandingkan dengan hak-hak lain dan diredefinisi menurut pertimbangan dan formula baru. Mengurangi ketaktoleranan dan rasa takut hanya bisa dicapai melalui perbaikan (distribusi) material sebagaimana penghargaan pada dimensi-dimensi kultural.

Istilah Multikulturalisme sering digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang keanekaragaman hidup manusia di dunia ini, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan perhatian kepada penerimaan terhadap realitas keanekaragaman budaya (multikultural) yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Sejak dasawarsa 1970-an, berhadapan dengan arus imigrasi di kawasan Eropa Barat, banyak negara barat, seperti Belanda, Swedia dan Inggris cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan multikultutal yang bertujuan menolong kelompok-kelompok khusus untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan asli mereka dan menguatkan identitas kultural mereka. Pada awalnya istilah ini hanya dikenal dengan istilah Puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara, kemudian pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang dengan istilah Multikulturalisme.
Penyebaran paham Multikulturalisme dimulai dengan runtuhnya Uni Soviet dan Eropa Timur yang menandai berakhirnya perang dingin, telah mempercepat dan meningkatkan intensitas globalisasi di berbagai bidang. Sejak itu, AS seolah menjadi penguasa dunia. Sehingga, hampir semua yang berbau AS cepat dan mudah merambah ke berbagai dunia. Termasuk, pengalaman sejarah multikulturalisme di AS. Dinamika perspektif keanekaragaman di AS dimulai dengan “melting-pot assimilation” menjadi “salad bowl” berkembang lagi menjadi “cultural pluralism” dan akhirnya “multiculturalism”. Dinamika perspektif itu bermula dari gerakan warga kulit hitam yang menuntut kesetaraan hak sipil dan politik pada 1960-an. Kemudian tahun 1970-an muncul gerakan civil society, yang diikuti gerakan perempuan, lalu muncul gerakan “pribumi Amerika” dan kelompok kulit berwarna. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an muncul pemikiran kritis terhadap kurikulum sekolah dasar perihal sejarah, demografi, dan pendidikan kewarganegaraan, yang menggugat perspektif melting-pot assimilation.

Konsep melting-pot assimilation ini dipopulerkan melalui drama karya Zangwill. Dalam perspektif melting-pot ditonjolkan perihal lahirnya “manusia baru” yang disebut Amerika, yaitu merupakan idealisasi peleburan beraneka ragam budaya yang berasal dari Eropa dan Afrika.Pemikiran kritis mengungkapkan bahwa melting-pot ternyata bersifat monokultur. Karena, dominasi dan hegemoni WASP (White Anglo-Saxon Protestant) amat mengedepan. Untuk mengakomodasi dan mengapresiasi kontribusi non-WASP, dikembangkan perspektif pengganti yang disebut “salad bowl”. Unsur non-WASP memang diakomodasi, tapi ternyata tak mengurangi unsur pokoknya yang dominan, yaitu budaya WASP. Perspektif salad bowl masih tetap dirasakan mengecewakan oleh non-WASP. Horace Kallen (1970) memperkenalkan perspektif “cultural pluralism” untuk menggantikan salad bowl. Perspektif ini membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang public merupakan ruang terbuka tempat bertemunya orang dari berbagai ikatan budaya. Ruang privat merupakan ruang yang disediakan untuk mewadahi dan merawat spesifikasi ikatan budaya di dalam masing-masing keluarga atau komunitas yang berbeda-beda. Ternyata perspektif ini juga rapuh dan tak memuaskan, karena mengandaikan dapat memisahkan sepenuhnya antara ruang publik dan ruang privat. Di samping itu mengandaikan wilayah non-budaya terlepas dari wilayah budaya di dalam ruang publik.

Dalam pengertian multikulturisme, sebuah masyarakat termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia dilihat mempunyai sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (main-stream) didalam kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan dari sebuah masyarakat atau bangsa merupakan sebuah mozaik, dan didalam mozaik tersebut terdapat keanekaragaman kebudayaan dari dan yang ada dalam masyarakat atau bangsa tersebut. Model multikulturisme ini sebenarnya telah digunakan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai mana yang terungkap didalam penjelasan Pasal 32, UUD 1945, yang berbunyi :….kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah…… puncak-puncak kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai budaya atau inti kebudayaan di daerah-daerah atau suku bangsa.

Model Multikulturisme ini bertentangan dengan model monokulturisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan, yang tergolong kebuayaan-kebudayaan sebagai terdiri atas sebuah kebudayaan yang dominan atau mayoritas dan lainnya sebagai kebudayaan-kebudayaan minoritas yang harus meleburkan diri kedalam kebudayaan yang dominan tersebut. Model ini dikenal dengan kebijakan asimilasi atau pembauran. Dalam kebijakan ini mereka yang termasuk golongan minoritas harus mengganti jati diri menjadi golongan yang dominan dengan cara mengadopsi kebudayaan dominan tersebut menjadi kebudayaan mereka untuk dijadikan sebagai atribut bagi jati diri mereka yang baru, seperti etnis-etnis pendatang di Indonesia. Dalam model multikulturisme penekanannya adalah pada terwujudnya kesederajatan individu serta ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda. Juga pada saling pengayaan budaya melalui proses-proses pengadopsian unsure-unsur budaya yang dianggap cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupan tanpa ada hambatan-hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut karena adanya batas-batas suku bangsa yang primodial yang biasanya sukar untuk dilanggar.


Leave a Reply